Struktur Sel "Phantom" Terorisme Indonesia
Bahwa sebuah pergerakan
mesti memiliki manifesto dan konsep perubahan beserta perangkat dan
instrumen pergerakan bukanlah merupakan hal yang baru. Setiap elemen
pergerakan yang dimulai disetiap unsur masyarakat tentunya memiliki
cara kerja revolusinya yang dibagi dalam peran dan fungsi dari
personifikasi kader. Ada kader-kader yang bertugas untuk membaca, ada
kader yang bertugas untuk menulis, ada kader yang bertugas untuk
mengejawantahkan pemikiran dalam bentuk gerakan memang merupakan
proses revolusi yang mesti dilakukan, karena tidak ada satu orangpun
dimuka bumi ini yang bisa melakukan semua segala sesuatunya, mesti
berbagi peran dan saling bahu-membahu satu sama lainnya. Baik sebagai
sebuah organisasi maupun sebagai sebuah bangsa dan negara.
Untuk diketahui oleh
para elite politik residu dari kebijakan mereka adalah hal-hal yang
diluar jangkauan pemikiran mereka. Karena revolusi bukanlah sesuatu
yang mudah untuk dipelajari maka para elite politik mesti memahami
residu dari pergerakan mereka sehingga paham akan tindakan-tindakan
mereka sampai pada tingkatan dampak. Berikut adalah tulisan yang saya
sadur dari koran Kompas, Rabu, 20 Maret 2013, ditulis oleh Noor
Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian. Agar
para pelaku politik peka akan tindakan mereka dan tidak dengan mudah
menghakimi para pelaku-pelaku pergerakan.
Tak kurang dari 800-an
pelaku tindak pidana teroris sejak bom Bali pertama telah ditangkap
aparat, tetapi jaringan mereka terus bermutasi menjadi
kelompok-kelompok kecil yang berbahaya meski nyaris tanpa sosok
pemimpin yang kuat. Keadaan ini sering disebut sebagai gejala
“perlawanan tanpa pemimpin”. Konsep ini dikembangkan Ulius Louis
Amoss pada awal 1960-an ketika bertugas sebagai intelijen Amerika
yang menghadapi ancaman komunisme di negaranya. Sistem gerakan ini
sering juga disebut dengan struktur sel phantom: sistem
organisasi berbasis sel, tetapi tak mempunyai jalur kontrol atau
perintah yang terpusat. Struktur sel phantom yang terus
bermutasi dalam jaringan terorisme ini terjadi karena faktor internal
dan eksternal. Faktor internal adalah karena sifat dasar dari gerakan
ini klandestin “bawah tanah” dan tandzim sirri “organisasi
rahasia”. Keterbukaan dalam menjalankan roda gerakan sangatlah
sulit terjadi. Rasa curiga antar anggota dan ketakutan akan adanya
penyusupan menjadi dinamika tak terpisahkan dalam gerakan ini.
Karena itu, jika terjadi
kegagalan dalam amaliyah “operasi”, mereka selalu mencoba
mencari kambing hitam dari anggota mereka sendiri yang dicurigai tak
loyal terhadap garis perjuangan. Sosok seperti Nasir Abas, mantan
Ketua Mantiqi 3 yang menulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah,
dan Ali Imron, adik almarhum Amrozi yang menulis buku Ali Imron
Sang Pengebom, bagi kalangan anggota yang masih aktif dalam
gerakan dianggap sebagai pengkhianat karena telah membuka isi perut
gerakan. Vonis sebagai pengkhianat, terutama mereka yang merasa masih
setia dengan ideologi gerakan tetapi kecewa kepada pemimpin,
mendorong mereka melakukan operasi mandiri, amaliyah fardhiah,
sebagai upaya pembuktian bahwa mereka bukanlah pengkhianat seperti
ditudingkan kalangan mereka sendiri.
Salah satu contoh dari
gejala ini dapat terlihat dari radikalisasi Abu Yusuf, veteran
pelatihan militer Moro Islamic Liberation Front (MILF), yang terlibat
dalam pelatihan militer di Aceh 2010 dan sekarang mendekam di
Nusakambangan. Sebelum tertangkap, Abu Yusuf selalu dituding sebagai
mata-mata hanya karena ia pernah dibebaskan oleh kepolisian ketika ia
tertangkap bersama Adung, mantan sopir pribadi pendiri Jamaah
Islamiyah di Kartosuro, Solo. Polisi membebaskan Abu Yusuf karena
tidak ada bukti kuat keterlibatannya dalam aksi terorisme di
Indonesia. Contoh lain adalah beberapa kelompok baru yang muncul
belakangan ini seperti Al Qaeda Indonesia di Solo, juga dikarenakan
upaya bersih-bersih diri dari tudingan sebagai mata-mata oleh sang
pelaku.
Cara Negara.
Mutasi ini juga
disebabkan faktor eksternal: cara negara menghadapi mereka yang
cenderung memakai definisi tunggal teroris untuk semua yang
tertangkap dalam kasus ini. Fakta dilapangan menunjukkan, ada tingkat
keterlibatan yang berbeda menjadi seorang teroris. Tak semua pelaku
itu digerakkan motif dan tujuan yang sama. Misalnya mereka yang
terlibat dalam konflik komunal di Ambon dan Poso jelas digerakkan
motif balas dendam kepada pihak lawan. Pelaku tindak pidana terorisme
di Bali dan Jakarta 2002-2009 digerakkan oleh fatwa Osama bin Laden
pada 1998 menyerang kepentingan Amerika diseluruh dunia. Bahkan,
dalam beberapa kasus ada juga pelaku tindak pidana terorisme yang
digerakkan motif ekonomi, seperti terlihat dalam penggelembungan
penjualan senjata api dalam pelatihan militer di Aceh. Almarhum
Dulmatin menerima senjata api dengan harga lebih mahal dua kali lipat
dari harga asli ketika anggota jaringan ini membeli pertama kali dari
oknum polisi. Dengan berbedanya motif ini seharusnya beda pula
penanganannya. Dengan disamaratakan cara perlakuan, bahkan dicampur
dalam penjara yang sama, mereka jadi saling kenal, bertukar pikiran,
bahkan memunculkan sel baru ketika mereka di penjara.
Satu contoh dari sel
baru ini adalah gerakan Tauhid Wal Jihad pimpinan Aman Abdurrahman.
Oleh kondisi seperti ini terjadi tak kurang dari 28 residivis dalam
kasus terorisme sejak bom Bali pertama 2002. Jumlah ini merupakan 10
persen dari total narapidana teroris yang sudah dibebaskan. Jangan
lupa dalam tahun 2013-2014 akan dibebaskan tak kurang dari 300-an
narapidana terorisme karena telah menyelesaikan masa tahanan. Pada
hemat penulis, yang harus dilakukan negara menghadapi gejala diatas
adalah reformasi penjara: mengubah cara pandang enemy-centric
approach yang selalu berpikir bahwa narapidana teroris itu
selamanya musuh yang harus dihancurkan, dan melupakan fakta bahwa
mereka itu ada yang lelah juga jadi teroris. Dalam beberapa hal,
negara juga sangat berpengaruh dalam radikalisasi mereka, seperti
yang terlihat dalam video yang beredar di youtube baru-baru ini:
penyiksaan aparat terhadap tersangka teroris di Poso. Fakta
dilapangan juga menunjukkan, mereka yang terlibat dalam terorisme ini
ada yang berusia sangat muda, seperti terlihat pada jaringan teroris
Klaten. Mereka rata-rata pelajar sekolah menengah atas. Dalam rangka
mencari jati diri, mereka mudah dipengaruhi indoktrinasi senior
mereka.
Didalam penjara, melalui
interaksi intensif dengan keluarga dan elemen masyarakat sipil,
diantara mereka ada yang melakukan refleksi diri dan menyadari bahwa
pilihan sikap mereka ketika remaja justru kontraproduktif terhadap
perkembangan diri mereka. Karena itu, ketika mereka mengajukan
pembebasan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga masa hukuman,
seharusnya negara dan masyarakat memberi ruang bagi mereka
berasimilasi dan memulai lembar baru kehidupan.
Komentar
Posting Komentar