Menuju Ekonomi Sosialisme Indonesia
“Jika saya memakan sayur sop senilai Rp. 1.500,-
berapa depa selokan yang mesti saya bersihkan
untuk mendapatkan 3 sachet shampoo senilai Rp 500,-
per satu sachet?”
Tentunya para pembaca yang notabene adalah rakyat
Indonesia sudah bosan dengan pemaparan strategi perekonomian Indonesia
yang dicanangkan oleh negara atau pemerintah. Sebab sudah bukan
merupakan hal yang baru lagi bahwa itu semua hanya omong kosong belaka
tanpa realisasi kongkrit dari infrastruktur perekonomian indonesia. Kita
semua tahu bahwa negara gagal dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat
secara utuh dan menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari fakta tingginya
tingkat ketergantungan Indonesia dalam hal kebutuhan primer kepada
negara-negara lain. Beras impor, ikan impor, susu impor, daging sapi
impor, garam impor, gula impor, bahkan bawang pun impor.
Ketidakmampuan Indonesia dalam mengupayakan
kemandirian ekonomi disebabkan oleh terbelenggunya para pelaku ekonomi
Indonesia untuk melakukan kerja-kerja ekonomi yang menitik beratkan pada
upaya kapitalisasi sumber daya yang dimiliki oleh republik ini.
Belenggu ini dapat dilihat dari fakta kepemimpinan SBY yang dalam
laporan tahunannya selama 2004 sampai dengan 2014 mengedepankan stigma clean
sheet government financial journal berbanding dengan
fakta bahwa rakyat Indonesia menderita atas beban hidup yang tertempa
permasalahan ekonomi. Selalu saja kita menyaksikan pemerintahan SBY
menaikkan segala macam bentuk harga, mencabut subsidi sebagai solusi
kegagalan mekanisme pasar Indonesia hanya untuk sekedar mencapai
keseimbangan APBN.
Analisa ini jelas membuktikan ketidakberanian
pemerintahan SBY dalam mengambil terobosan atau penetrasi pasar terhadap
harga-harga yang fluktuatif diperiode-periode tertentu. Sementara
sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, Indonesia beserta supra dan
infrastruktur ekonominya memiliki kemampuan dan jelas memiliki
kewenangan untuk melakukan intervensi pasar yang mengedepankan
kepentingan rakyat berbanding dengan kebutuhan rakyat. Secara konstitusi
jelas dipasal 33 UUD 1945 diterangkan mengenai keberpihakan negara
kepada kebutuhan rakyat, secara tata negara pemerintah sangat dominan
baik dilegislatif maupun dieksekutif.
Sangat jelas sekali bahwa keberpihakan Republik
Indonesia dalam bidang ekonomi adalah kepada rakyatnya. Tidak ada
sejengkal ayatpun dikala terbentuknya republik memberikan peluang untuk
melakukan liberalisasi pasar dengan membiarkan mekanisme pasar
menentukan harga. Hal ini tentunya sudah diantisipasi sedemikian rupa
oleh para pendiri republik, baik secara konstitusi maupun secara sistem
ketatanegaraan. Sangat terang sekali bahwa segenap pemimpin Republik
Indonesia kedepan mesti mengedepankan Sosialisme Indonesia. Sila kelima
Pancasila dengan terang benderang mengamanatkan bahwa Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang menjelaskan pemahaman
arah dan disain perekonomian Indonesia.
Selama ini rakyat mengenal apabila ingin melakukan
kerja-kerja ekonomi maka rakyat mesti memiliki modal awal yang berakibat
mainstreem pulling capital atau pengumpulan modal awal dalam
sebuah perilaku ekonomi menjadi laten tersendiri. Pola-pola memberikan
kail, pancing dan perahu kepada nelayan yang terbentuk melalui KUR dan
PNPM serta program-program serupa, merupakan cerminan bagaimana
pemerintah mengedepankan modal kapital bagi rakyat yang menunjukkan
stigma financial engineering mechanism sebagai panglima
perekonomian Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan tidak
terealisasinya program-program tersebut dimasyarakat. Kenapa? Karena
rakyat Indonesia tidak mau berhutang.
Rakyat Indonesia lebih baik memproduksi barang lalu
dijual secara eceran ke pasar daripada mesti berhutang meski kepada
negaranya sekalipun. Inilah kemandirian rakyat Indonesia dalam
berekonomi yang tidak tercermin dan tidak ditopang oleh negara. Rakyat
Indonesia sangat sadar betul dari dampak berhutang sampai hal terkecil.
Sebab itu saya sebutkan disini bahwa para pemimpin hari ini sangat
berjarak dan tidak mengenal rakyatnya. Kalaupun diatas kertas rakyat
Indonesia banyak yang mengikuti program-program ekonomi pemerintah,
namun tidak tercermin didalam kenyataan perilaku ekonomi rakyat
sehari-hari.
Manipulasi statistik perekonomian Indonesia dilakukan
sedemikian rupa agar APBN tampak molek tiap tahunnya dan paradigma
mengamankan rupiah dari inflasi selalu saja menjadi landasan pijak dalam
menempuh kebijakkan-kebijakkan perekonomian Indonesia. Pola-pola
perekonomian dengan rekayasa keuangan seperti ini mesti disudahi,
diganti dengan peningkatan produktivitas dari kreativitas rakyat dalam
memenuhi kebutuhan ekonominya dan pemerintah tidak lagi menjadi
penyelenggara atau wasit dalam perilaku ekonomi namun menjadi penopang
dalam pertumbuhan produktivitas rakyat.
Keberpihakan negara mesti jelas dan terang benderang
dalam upaya-upaya pertumbuhan ekonomi rakyat agar keadilan sosial
benar-benar dapat terbentuk dan tercipta. Segala bentuk ide atau kreasi
masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi rakyat mesti didukung sepenuhnya
oleh negara.
Komentar
Posting Komentar