Alat Produksi Revolusi Sosialisme Indonesia
Masyarakat Indonesia tentunya mengenal cangkul, arit,
golok dan palu sebagai alat untuk membantu pekerjaan sehari-harinya,
namun dari kacamata negara alat-alat ini memiliki pengertian sebagai
instrumen untuk pencapaian produksi. Produktivitas rakyat sangat
dipengaruhi sampai sejauh mana kemampuan pelaku ekonomi mengoptimalkan
alat-alat atau yang biasa kita sebut dengan perkakas. Dalam perspektif
ekonomi liberal, perkakas diejawantahkan dalam bentuk fungsi alat atau
utility sehingga dalam penggunaannya memerlukan kemampuan khusus. Pelaku
ekonomi memiliki ikatan mekanis dengan alat. Hal ini menjadikan pelaku
ekonomi berjarak dengan perkakas yang berakibat pada lemahnya pengenalan
pelaku ekonomi terhadap perkakas dan dampak negatif yang ditimbulkan
oleh sudut pandang seperti ini adalah kecerobohan atau human error. Maka
dibentuklah mekanisme penggunaan perkakas (modul) agar dalam
pemakaiannya aman. Adapun pilihan lain adalah membuat perkakas yang
memudahkan dalam penggunaan (praktis) untuk memperkecil kecerobohan
(human error). Pada perkembangan berikutnya kita juga mengenal panci,
wajan, centong dan sodet yang kemudian disusun dan dibentuk dengan papan
dan roda, jadilah gerobak sebagai alat untuk memasarkan produksinya
kepada masyarakat disekitarnya. Dalam proses pemasaran produknya
masyarakat diperkenalkan dengan hasil dari kreasinya yang menggunakan
perkakas sebagai alat proses produksi.
Yang saya sebutkan diatas adalah dialektika idealis
dari sebuah proses produksi, pemahaman ini berangkat dari pengetahuan
bahwa apabila pelaku ekonomi memiliki kemampuan menggunakan alat maka
kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan dapat dicapai. Pada realitasnya
keterbatasan pelaku ekonomi terhadap alat dan keterbatasan alat dalam
optimasi fungsi menjadi kendala dalam kehidupan sehari-hari dan desain
perekonomian suatu negara semestinya beranjak dari realitas masyarakat.
Karena pelaku ekonomi memiliki keterbatasan atas ruang, waktu, gerak
atau saya sebut dengan momentum optimasi produktivitas pelaku ekonomi
terhadap perkakas. Para pemimpin republik hari ini hanya disibukkan pada
angka-angka statistik, angka-angka neraca perdagangan, angka-angka
financial forecasting analysist. Sehingga dipandang perlu untuk
melakukan optimasi produktivitas maka negara mesti berhutang kepada
organisasi-organisasi keuangan dunia untuk melakukan upaya kanalisasi
produk internasional yang masuk mekanisme pasar Indonesia. Hal ini
mengakibatkan kecenderungan perilaku konsumtif terhadap produksi
internasional. Kecenderungan-kecenderungan ini bertentangan dengan
konsistensi cita-cita republik Indonesia merdeka. Kemandirian berekonomi
yang merupakan esensi dari demokrasi ekonomi Indonesia tidak tercapai.
Dalam risalah-risalah terbentuknya republik sama sekali bertentangan
dengan perilaku ekonomi konsumtif dan hedonisme.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan terutama Wakil
Presiden Boediono tentunya jauh lebih memahami apa yang saya tuliskan
disini, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa demokrasi ekonomi
yang mengedepankan falsafah bangsa tidak tercipta di era kepemimpinan
mereka? Jelas sekali terang benderang bahwa rakyat dianggap mandiri
secara penghasilan dan pendapatan apabila rakyat melakukan kerja-kerja
ekonomi. Sementara Presiden dan Wakil Presiden tidak memahami belenggu
yang mesti dipikul rakyat dalam kerja-kerja ekonominya yang diakibatkan
oleh mekanisme pasar. Rakyat dibiarkan bersaing dengan dunia tanpa
ditopang oleh kebijakan-kebijakan pasar yang substansial, bahkan untuk
penopang sekalipun rakyat dipaksa untuk mencari jalannya sendiri tanpa
disain perekonomian rakyat yang utuh dan mengena pada rakyat. Tentunya
rakyat kecewa ketika harga-harga melambung tinggi tanpa adanya
intervensi pasar dari pemerintah, yang terjadi malah pencabutan subsidi
atas dasar kesamaan peluang, sementara peluang antara anak konglomerat
dengan anak tukang becak jelaslah terang benderang tidak sama.
Dan kemudian ada pilihan-pilihan untuk menjalani
kerja-kerja ekonomi bangsa yang berlandaskan pada ideologi bangsa
Indonesia. Yang pertama adalah Murba (Musyawarah Rakyat Banyak),
ideologi ini dicetuskan oleh Datuk Ibrahim Sutan Malaka (Tan Malaka),
yang saya sebut dengan perilaku ekonomi ibu. Pada ideologi ini
sesungguhnya intisari dari demokrasi ekonomi dibentuk berdasarkan
tatanan masyarakat Nagari yang didefinisikan sebagai berikut: “Pemerintahan
kampung dipegang oleh rapat-rapat kepala suku dan semua datuk dikampung
tersebut itulah yang memilih kepala negeri, yang menjalankan
pemerintahan sehari-hari. Tiap keputusan yang bersangkutan dengan urusan
penduduk sekampung itu, diambil oleh rapat penghulu yang diadakan
disebuah balairung. Datuk-datuk itulah yang berpengaruh didalam rapat
dan didalam pergaulan hidup dikampung tersebut. Mereka digelari
rakyatnya datuk, tuanku, pamuntjak, rangkaya atau rang tuah. Diluar
kampungnya mereka tidak berkuasa sama sekali. Kekuasaan tertinggi
daripada rapat penghulu ini tidak ada lagi, bahkan raja minangkabau di
pagarrujung tidak kuasa mengubah keputusan rapat penghulu. Sebab baginda
raja adalah simbol, bukan raja yang memerintah dengan kekuasaan luas
atas rakyatnya.” (Perang Paderi, Muhammad Radjab, 1954).
Ketika rakyat membentuk toko atau warung tentunya
berdasar pada musyawarah untuk mufakat yang didalamnya terdapat
sifat-sifat tepa selira, tenggang rasa, toleransi diantara sesamanya.
Biasanya ini terjadi dirapat-rapat ibu-ibu arisan Rukun Tetangga (RT)
dan Rukun Warga (RW). Sangat jelas terang benderang tidak ada dibenak
mereka sedikitpun tentang membeli mobil mercedez benz atau ferrari
ketika memulai usahanya, kalaupun ada, rakyat hanya mencoba membeli
mimpi. Namun menjadi berbeda ketika pemerintah tak mampu menopang
produksi rakyat sebagai sebuah optimasi produktivitas. Sementara
barang-barang impor merajalela, mimpi tak terbeli.
Ideologi yang kedua yang kita kenal adalah Marhaenisme, ideologi ini dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno, atau yang saya sebut perilaku ekonomi bapak. Landasan material dari marhaenisme adalah satu hari Soekarno berjalan disebuah desa di Bandung, dipematang sawah beliau bertemu dengan seorang petani yang bernama marhaen memiliki alat produksi berupa cangkul dibuat oleh tangannya sendiri, marhaen baru saja selesai menggarap sawahnya dan disela-sela istirahatnya Soekarno berbincang dengan marhaen. Dalam perbincangan ini diketahui oleh Soekarno bahwa sawah yang digarap adalah milik marhaen, begitupula dengan pacul dan bajak beserta sapinya adalah milik marhaen. Namun yang menjadi keruwetan dibenak Soekarno adalah mengapa marhaen tidak sejahtera dan makmur. Soekarno mengambil kesimpulan bahwa kapitalisasi produksi yang bertarung dengan harga pasar menjadi penyebabnya.
Pada kondisi sekarang ini tentunya kitapun melihat
banyak petani mengalami kesulitan, para petani memiliki pacul dan bajak
namun tidak sejahtera karena sawah bukan milik mereka namun milik
pemilik modal, selain dibatasi musim paceklik petani dibelenggu oleh
fluktuasi harga komoditas. Adapula nelayan memiliki perahu dan jala
namun karena keterbatasan bahan bakar solar, acap kali kesulitan
berlayar. Belum lagi dibebani belenggu oleh pembayaran hutang yang
dipergunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari ketika tak dapat
berlayar dimusim-musim tertentu. Hal yang sama juga sekarang dialami
oleh tukang becak, tukang ojeg, tukang sayur keliling, pemanggul beras,
buruh, dan pekerja sama sekali jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Hal ini disebabkan oleh tidak berdaulatnya negara dalam menentukan
kebijakan ekonomi, pengaruh intervensi asing terang benderang dirasakan
oleh rakyat, kapitalisme dan liberalisme mencapai bentuk baru neo
kapitalisme, neo liberalisme dan neo merkantilisme, dimana bangsa
Indonesia menjadi budak dari bangsa budak dan tanah air Indonesia di
eksploitasi pihak asing, exploitation de l’homme par l’homme,
exploitation de nation par nation telah terjadi didepan hidung dan mata
kepala kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar