Biarkan Aku yang Pergi (Chapter 11 : Panggil Aku Gabe)



Dini hari melindapi angin malam di sela-sela jendela kamarnya, ia menuliskan begitu banyak kata yang tak mampu diucapkannya. Menyesapi kopi hangat masih menari penanya bersama purnama, sejenak diistirahatkannya jemari dengan mengetuk meja. Seorang pemuda yang merantau ke kota seberang, ia menghabiskan waktunya menulis untuk mencari nafkah di malam hari dan menjadi buruh pikul di pelabuhan siang hari, menempuh pendidikan tinggi sudah semester akhir dan ia merindukan ibunda di kampung halaman, setiap hari ia menulis untuk ibunda yang buta huruf untuk dibacakannya ketika pulang kampung di hari raya.

Kata demi kata bersambut mengayuh sanubarinya, sesekali ia menyeka air matanya yang tak terasa berulir di pelupuk mata, karena tak semuanya indah maka ada beberapa kertas yang dibasahi oleh air matanya. Terkadang pilu tak tertahankan ketika menulis tapi ditahannya semua, dipendam di lubuk hati terdalam, berkisah tentang begitu banyak asmara dan pahit getirnya kehidupan yang diarungi setiap harinya. Seperti catatan harian, ia menulisnya, dan dibiarkannya mengalir apa adanya segala keindahan yang bercampur baur dengan kepedihan dan kegetiran. Tak ada waktu tidurnya, kalaupun ia terlelap hanya sejam dua jam dan mencuri waktu tidur di terminal pelabuhan Teluk Bayur sore hari.

Adzan subuh sebentar lagi berkumandang, kopinya telah tandas gelas ke empat dan ia bersiap menuju surau. Dinginnya air di pagi hari tak dihiraukannya dan dengan langkah sigap ia menuju surau dekat indekosnya. Sesampainya di surau ia melihat Mika sedang tertidur berbantalkan tas pundak kusam, berpakaian rombeng alakadarnya. Dibangunkannya Mika, dingatkannya hari telah subuh untuk bersiap sembayang. Mika sontak terbangun dan menuju tempat wudhu, kemudian merapihkan pakaiannya untuk bersiap sembayang. Pemuda tersebut kemudian mengumandangkan adzan subuh di surau dan beberapa warga sekitar berdatangan untuk shalat subuh.

Betapa syahdu suasana surau dirasakan oleh Mika, ketika sembayang berjamaah dengan warga, ia merasa seperti sedang berlayar di sebuah bahtera dengan beragam mukmin mengarungi samudera. Indahnya suara imam melantunkan bacaan shalat seperti nahkoda bahtera yang sedang bercerita kepada makmum tentang firman Allah, dan dengan khusyuk kita semua mendengarkannya. Udara pagi hari yang sejuk dan desir angin yang menderu dinding surau membuat segalanya menjadi indah dan gerakan shalat yang di hela angin subuh berdansa dengan helaian layar bahtera yang terkembang.

Mika tanpa terasa lebur dengan segala yang dirasakannya di Kota Padang dan di antara shalatnya ia teringat dengan Rina yang berpapasan dengannya diperjalanan. Setelah shalat selesai Mika menghampiri pemuda tersebut dan mengucapkan terima kasih telah membangunkannya, pemuda tersebut tersenyum padanya dan mengatakan, sepertinya perjalananmu cukup jauh dan menanyakan asal kedatangan Mika. Pemuda tersebut memperkenalkan dirinya, namanya Panggabean, Mika boleh memanggilnya Gabe. Iapun bertanya tentang tujuan Mika datang ke Padang, sambil bercerita Mika bertanya-tanya tentang arah tujuan menuju ke Bukittinggi.

Diingatkan oleh Gabe bahwa menempuh perkuliahan itu bisa dimana saja, dan yang penting itu punya cita-cita, sebab kalau punya cita-cita tentunya akan mudah berkuliah dimana saja. Seperti membaca pikirannya, Gabe menyampaikan bahwa menempuh pendidikan bukanlah ajang pelarian dari sebuah kegundahan yang tak tentu arah. Menempuh pendidikan adalah tentang ketekunan untuk belajar, ia juga mengingatkan Mika agar kalau sudah memilih perkuliahan untuk serius dan rajin belajar. Mika sesungguhnya menyadari apa yang disampaikan Gabe itu benar adanya, ia sangat gundah dengan segala yang ada di Magetan, Mika ingin melarikan diri dari sebuah kenyataan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan kepada Raminah dan Sumatera merupakan sebaik-baiknya pencarian jati diri menurut Mika. Sesungguhnya ia sangat tidak nyaman dengan gejolak yang terpendam di benaknya, menurutnya ia terlalu dini sekali untuk merasakan hal-hal seperti ini, tetapi semua dihadapinya, perjalanannya, perasaannya dan gejolak di hatinya. Mika merasa perlu untuk membuktikan sesuatu yang diluar jangkauannya, sementara menurut Gabe hal-hal seperti itu tidaklah perlu untuk menjadi pikiran yang berlarut-larut.

Matahari telah menyingsing, warga setempat telah meninggalkan surau, Mika dan Gabe masih bercengkerama, tanpa disadari Gabe, ia seperti sedang bercermin dengan Mika, sebab ada beberapa gejolak didalam diri Mika dirasakannya juga, umur mereka tak terpaut jauh, Gabe pun menyadari bahwa apa yang dilakukan Mika sekarang mungkin juga akan dilakukannya dengan beberapa kondisi yang mendukung. Seperti kakak beradik yang sudah kenal sejak lama mereka saling bertukar pikiran, dan Mika sangat mensyukuri banyak hal tentang perjalanannya ke Sumatera. Sejuk sekali berbincang dengan Gabe, dan Mika menyadari bahwa kesan yang ia dapat di Kota Padang sangat berarti dan pengalamannya ini takkan dilupakannya. Gabe mengatakan bahwa Mika tidak perlu juga untuk menambah perjalanannya ke Bukittinggi, bisa lain waktu datang ke Bukittinggi, sebab orang tua Mika pasti sudah menunggu di Magetan, dan Mika belum lagi lulus SMA, setelah lulus bisa mendatangi banyak tempat nantinya tanpa perlu merasa khawatir kehilangan berbagai kesan di Sumatera.

Komentar

Postingan Populer