Biarkan Aku yang Pergi (Chapter 1: Dimanakah Engkau Berada)
Seperti hari yang telah berlalu raminah duduk ditepi sungai, menyaksikan air mengaliri belakang rumahnya. Ia baru saja terbangun dari tidurnya namun air sungai yang mengalir dan gemericik riak sungai menjadi sarapannya sebelum membuat sarapan untuk bapak. Seperti biasa raminah mencelupkan lengannya ke sungai, sejuknya angin subuh, dinginnya air sungai dan helaan nafasnya menyatu berirama dengan denyut nadi yang perlahan dan lembut. Dihelanya riak air sejenak, raminah tersenyum sendiri melihat betapa jenaka ikan-ikan kecil menyambut gelombang air dari helaan tangannya.
Ibu biasa masih tertidur saat subuh, bapak sibuk mengasah arit dan menumbuk-numbuk paculnya. Entah raminah tidak tahu mengapa bapak menumbuk-numbuk paculnya, tapi setiap subuh dilakukannya. Raminah sesekali meniup jelaga dan arang pun membara, seperti hatinya yang menanti adzan subuh berkumandang. Diperhatikannya bara yang membara dijelaga, bumbu-bumbu disiapkan olehnya. Bapak suka nasi liwet buatan raminah, tak pernah ia mendapati bapak menyisakan sedikitpun nasi liwet dirantang.
Sambil menaruh rantang disebelah bapak, raminah duduk memperhatikan bapak mengasah arit dan menumbuk pacul. Dengan suara perlahan ia memberanikan diri kembali bertanya,”pak, aku ikut ya.” Dan dengan jawaban yang sama seperti beberapa hari lalu bapak menghela nafas sambil memperhatikan mata arit,”anak gadisku tidak boleh pegang cangkul, anak gadisku mesti pandai bersolek, anak gadisku yang pandai masak, mesti sekolah.” Raminah tertunduk, mencabut-cabut rumput, kemudian berbisik,”aku ingin bantu bapak.” Bapak menolehkan tatapannya,”bapak sudah banyak yang bantu diladang, kamu pergi sekolah dengan teman-temanmu, biar pintar.” Raminah tetap tak menatap bapak, tertunduk, mengepalkan rumput yang digenggamnya. Kemudian raminah mengangkat wajahnya, dilihatnya punggung bapak memanggul pacul, berselempang arit dipinggang, berlalu sampai dipenghujung perjalanan. Raminah bersiap ke sekolah dan dilihatnya sejenak ibu dikamar, pamit, dan ibu yang masih tertidur tak menjawab. Matahari baru saja menampakkan kilaunya, diperjalanan raminah bersenandung. Sesekali dipungut kerikil, dihempasnya bersama deru angin.
Tergesa-gesa mika mengayuh sepeda, ia terlambat, raminah mesti sudah berangkat, keluhnya. Melaju kencang sepeda mika, dihalaunya angin yang menderu ke arahnya, pandangannya kacau, namun ia tetap saja mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa. Menjemput raminah mesti naik sepeda, ia tak mau dijemput dengan motor, entahlah apa yang ada dibenak raminah, perjalanan jauh naik sepeda, pikir mika. Anak kepala desa ini punya motor dua, namun tak ada satupun motornya mampu memikat raminah. Punggung raminah telah terlihat dari kejauhan, rambut panjang dengan topi biru, mika berteriak memanggil,”Raminah.” Sekonyong-konyong wicak menyenggol sepeda mika. Wicak atlet bola basket SMU Negeri 1 Magetan ini mengayuh sepedanya kencang sekali, mika terjatuh, menatap wicak yang melaju menghampiri raminah.
Sesampainya disekolah ditubruknya pundak wicak, dengan wajah geram, mika menohok dada wicak. “Kau cari mati ya.” Wicak tersenyum,”aku mungkin akan mati satu hari nanti, tapi bukan karena kau.” Bel sekolah berbunyi, para murid memasuki kelas masing-masing. Raminah dengan semangat membuka tasnya, mengeluarkan buku-buku pelajaran dan peralatan menulis. Komala teman sebangkunya mencolek lengannya,”Hei, wicak dan mika berkelahi.” Raminah menoleh, tak menjawab teguran komala, ia malah mulai mencoret-coret buku. Entah apa yang dicoretnya, komala mengintip. Pak Djana datang dan memulai pelajaran. Ruangan hening yang terdengar hanya suara pak Djana memberikan pelajaran, raminah memperhatikan pelajaran yang diberikan pak Djana, sesekali ia mencoret-coret buku tulisnya, mencatat pelajaran dan kemudian mencatat apa yang ingin ditanyakan. Namun entah mengapa pertanyaan selalu saja terjawab sebelum ditanyakan, selalu seperti itu. Pak guru seperti mampu menjawab pertanyaan dibenak raminah yang belum tersampaikan.
Komala senang sekali membuat coretan, sepanjang pelajaran ia isi dengan coretan, tidak seperti kebanyakan, komala hanya mencoret garis-garis yang dikelok-kelok membentuk pola tak beraturan, senang sekali ia menggambar sudut-sudut yang tak beraturan, saling menghubungkan satu garis dengan garis yang lain, membentuk pola tersendiri. Pernah raminah bertanya tentang coretan yang komala buat, raminah tampak bingung dengan coretan komala, karena memang tak berbentuk, hanya coretan tanpa makna. Komala pun mengakui bahwa ia tidak tahu apa yang digambarnya, yang ia tahu apabila ia mendengar orang berbicara secara tidak sengaja ia mencoret pola-pola ini, komala tidak berbakat menggambar namun ia ingin sekali menggambar. Komala remaja yang banyak sekali keinginannya, ia melihat anak lain bermain piano, iapun ingin bisa main piano, melihat anak lain bermain lompat karet, ia ingin bisa bermain lompat karet, melihat anak lain pandai menari, ia ingin sekali bisa menari. Namun tak ada satupun dari keinginannya yang terpenuhi, syaraf motoriknya tidak sempurna, sehingga tak mampu komala memenuhi keinginannya. Sebagai manusia, komala terlahir tanpa cacat, namun karena tak ada satupun yang bisa ia lakukan, terlihat kaku dan membingungkan. Kelebihan komala ketika ia berbicara sangat lancar, bersahabat dan sangat menyentuh pada inti persoalan. Sehingga menjadikannya sosok yang sangat enak untuk dijadikan teman berbicara, bertukar pikiran dan detil disetiap pembicaraannya. Tak ada satu hal pun disekolah yang luput dari perhatiannya, selalu saja ada kabar tentang situasi sekolah dari komala. Karena kelebihannya ini pula komala dijuluki biang gosip, walau sebenarnya tak ada yang digosipkan olehnya karena apa yang dibicarakan memang selalu yang terjadi disekolahan.
Waktu istirahat sebentar lagi tiba, raminah belum juga tersadar dengan apa yang terjadi tadi pagi. Komala kembali mengingatkan, namun tampaknya kabar itu tak menarik perhatian raminah. Bel istirahat berbunyi, para murid berhamburan keluar menuju kantin. Mika terduduk ditangga, rasa kesal masih mengusik batinnya. Ingin rasanya ia menghajar wicak. Terlihat wicak sedang mendribble bola basket dilapangan, sedang asyik bermain dengan kawan-kawan atletnya. Dengan gelisah mika berdiri melangkah menuju kelas raminah, ditengoknya kedalam, tak ditemukannya. Mika bergegas menuju perpustakaan, raminah mesti ada disana. Dilihatnya raminah sedang membuka-buka buku fisika disudut ruangan, dihampirinya raminah. Mika duduk disampingnya, berdiam diri hanya memandang perempuan pujaannya membalikkan halaman buku. Dengan wajah keheranan raminah menoleh kesamping,”Kamu tadi berkelahi dengan wicak?” Mika tertunduk. Dikepalkannya tangan, mika memberanikan diri untuk bicara,”Ada yang ingin aku sampaikan.” Raminah menghela nafas, kenapa lagi si playboy ini. “Bisa tidak kita bicara sepulang sekolah nanti?” Mika bertanya. Raminah balik bertanya,”Bisa tidak kamu biarkan aku belajar diperpustakaan ini?” Mika menatap raminah, tentunya bisa, iapun beranjak dari duduknya dan melangkah keluar perpustakaan.
Dengan gundah mika berjalan menuju kelas, terduduk, termenung. Diambilnya kertas dan pena, ditulisnya sebuah rangkaian kata,”satu hari nanti akan kuceritakan kepada dunia tentang air mata yang jatuh, raga yang tertempa nelangsa, langkah yang hanya tertuju kepadamu, dengan rindu yang membelenggu menuju kamu sampai akhir waktu.” Terkaget mika ketika dradjat menepuk pundaknya,”Pulang sekolah nanti latihan band.” Diambilnya gitar dari genggaman dradjat, mika memetik melodi gitar. Dengan emosional menari jemari mika memainkan for whom the bell tolls, metallica, diiringi ketukan meja kelas, dradjat dengan semangat mengiringi petikan gitar mika.
Wicak menyeka keringatnya dengan handuk, dilihatnya raminah keluar dari perpustakaan, berlari kecil wicak menuju raminah,”nanti pulang sama aku ya.” Raminah dengan senyum simpul menjawab,”tidak usah nanti aku mau ke ladang.” Berlalu raminah menuju kelas, sekilas ia lalui depan kelas mika, dilihatnya anak kades itu bernyanyi bersama teman-temannya. Celoteh komala kembali menghampiri telinga raminah, tak henti-hentinya komala bercerita tentang lelaki-lelaki disekolah. Buat raminah lelaki yang ia kenal hanya bapak, selain bapak, lelaki dianggapnya bocah ingusan yang lucu-lucu dan banyak tingkah polahnya. Pak Djana masuk kelas dan memulai pelajaran ditatapnya satu persatu murid dan memulai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pelajaran.
Komentar
Posting Komentar