Mari Bicara Cinta

Jatuh cinta semenjak masa kanak-kanak bukanlah perkara mudah untuk dilalui, setidaknya dan tentunya banyak patah hati dan hati yang terpatahkan dalam berbagai ‘episode kehidupan’ (pinjem istilah aa gym :D). Memandang sosok perempuan yang di cintai dan kita sayangi dari kejauhan, memendam perasaan yang mengkristal jadi sebuah karakter dalam menjalani kehidupan. Bukan bermaksud menyalahkan lingkungan tapi sadarkah ada sosok-sosok yang terbentuk dari luka, luka hati yang tak mampu terobati oleh angan-angan belaka. Luka yang hanya bisa disembuhkan oleh kehadiran sosok yang mengisi lubang kekosongan yang menganga dalam dan tak berdasar.
Lucu terkadang kalau mengingat betapa bisanya kita meluapkan rasa cinta hanya dengan melihat genteng rumah sosok yang kita cintai, berseru ketika ia melewati halaman rumah, menulis ratusan surat yang tak pernah sampai ke penghuni hati, cemburu buta ketika sosok yang kita sayangi bertegur sapa dengan lelaki lain, mengimbangi langkah cepat dan lambat dari kekasih kita, mengusap kotoran yang menghampiri kakinya dan membelai air mata yang membasahi pelupuk matanya, yang entah karena apa begitu banyak yang bisa membuat air matanya deras mengalir.
Pada akhirnya, hanya bisa bersujud ratusan rakaat, mendengarkan lantunan bacaan Al Qur’an dari suara ibunda yang mengisi seluruh ruangan rumah. Pada akhirnya, menempatkan Tuhan sebagai awal dan akhir dari segala, dan untaian dzikir yang terus saja menggema di hati. Takut sekali apabila menempatkan Tuhan sebagai awal dan akhir segala akan dianggap sebagai dalih untuk menyerah. Takut sekali apabila ada anggapan bahwa menempatkan Tuhan di segala sendi kehidupan akan dianggap kalah dan takut jatuh cinta.
Lalu teringat begitu banyak biografi panutan mengisahkan soal cinta mereka, mulai dari nabi, pahlawan, sampai para pemimpin negara-negara. Begitu banyak cerita kerasnya kehidupan yang dihadapi oleh mereka, begitu banyak yang dikorbankan ketika mereka berjuang dan tak ada setitikpun hati mereka mengeras ketika berurusan soal cinta. Bagi nabi, pahlawan dan para pemimpin selalu ada tempat di jiwa mereka untuk cinta, selalu ada tempat di relung-relung hati mereka untuk saling berkasih sayang. Lalu apalah kita yang berkeras hati untuk menjaga kerapuhan hati tak tergores kembali.
Kemudian diri inipun mencontoh, bercermin pada lingkungan dan teman yang sudah merasakan pahit getirnya cinta, tentunya bahagia dan nyaman lebih besar dirasa oleh mereka, apalagi yang telah menempuh bahtera pernikahan. Mengunjungi dan nge like bayi-bayi lucu para sahabat, betapa aura kebahagiaan begitu terpancar di sorot mata mereka. Sayapun turut menyaksikan bagaimana para sahabat memenuhi kebutuhan hidup mereka, ya kami memang bukan dari kelompok komunitas yang berada, dan hebatnya berbagai cara halal mampu dipenuhi oleh para sahabat dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Komunitas kami tergolong keras pendiriannya terkait dengan mata pencaharian, bersedia meninggalkan peluang-peluang yang di dapat secara salah meskipun menggiurkan, bukannya tak bisa mereka kaya raya, menyaksikan tumpukan uang dan emas merupakan hal-hal yang acap kali mereka alami.
Sekedar bercerita sedikit tentang tumpukan uang, ketika saya mengalaminya dan di tanya maunya apa, saya jawab dengan polosnya, hanya ingin kasih sayang, sebab belajar dari para sahabat dan teman, kasih sayang memang benar-benar bisa menjadi fondasi berkeluarga, kasih sayang bisa bikin perut kenyang, kasih sayang bisa menyekolahkan anak, kasih sayang mampu membelikan susu buat anak-anak mereka. Bukan berarti kami pecinta kesengsaraan, tapi kami pecinta kesederhanaan, dan segala kesederhanaan mampu membuat mereka beli mobil, rumah, apartemen, sekaligus punya perusahaan. Sahabat-sahabat saya betul-betul contoh hidup bahwa kasih sayang mampu menghidupi keluarga, istri dan anak.
Begitulah saya melihat cinta yang bercermin dari lingkungan, dan saya bertumbuh sedikit banyak dari uluran tangan sahabat. Kasih sayang yang mereka tularkan ke saya membuat saya menjadi manusia yang utuh dan bahagia.

Komentar

Postingan Populer