Biarkan Aku Yang Pergi (chapter 4: Mika, you were asking a wrong question)


Good name in man and woman, dear my lord, 
Is the immediate jewel of their souls: 
Who steals my purse steals trash; 'tis something, nothing; 
'Twas mine, 'tis his, and has been slave to thousands; 
But he that filches from me my good name 
Robs me of that which not enriches him 
And makes me poor indeed.

William Shakespeare, "Othello", Act 3 scene 3
Greatest English dramatist & poet (1564 - 1616)


Bapak teringat dengan arit yang tertinggal dirumah, sudah setengah perjalanan ke ladang dan ia mesti kembali. Diperjalanan kembali ke rumah, tanpa disengaja bapak melihat Raminah berjalan menuju ke sekolah, dilihatnya putri kesayangannya tersebut berjalan menendang-nendang kerikil dan membelai ilalang. Beberapa detik kemudian dilihatnya putra pak kades sukotjo menggenjot sepeda dan menghampiri Raminah, bapak menyaksikan putrinya menggelengkan kepala dan sambil tersenyum kepada anak tersebut. Namun putra pak kades tersebut turun dari sepeda dan berjalan beriringan dengan putrinya, ia malah ikut berjalan menemani putrinya. Bapak tersenyum menyaksikan kejadian tersebut, tak ingin ia menegur keduanya. Sebenarnya apa yang bapak lihat tak menyenangkan dirinya, namun ia percaya putrinya mampu menjaga dirinya dari pergaulan yang buruk, putra pak kades memang terkenal urakan, namun sejauh ini tak ada cerita-cerita yang buruk tentang perempuan. Tak lama kemudian ia melihat Wicak sedang mengayuh sepeda dan menghampiri putrinya dan putra pak kades, namun setelah berbincang sebentar, Wicak meneruskan perjalanannya ke sekolah. Bapak bergumam, putriku ternyata sudah dewasa, tak terasa waktu berlalu begitu cepat, rasanya seperti baru kemarin menggendongnya.

Sesampainya dirumah, bapak melihat ibu sedang menanam biji-bijian dihalaman rumah mereka yang hanya sepetak. Bapak bertanya pada ibu, "Bu, biji-biji apa itu?" Ibu menjawab,"Biji cabai pak, ada juga biji pepaya." Ibu menambahkan,"Cabai naik harganya sekarang, setidaknya kalau kita menanam cabai sendiri dihalaman bisa menghemat, walau tak seberapa." Bapak tersenyum haru melihat apa yang dilakukan istrinya. Bapak mengenal ibu diladang PTP, mereka berdua bekerja menjadi buruh tani diladang tersebut. Bapak kemudian menghampiri ibu dan menggemburkan tanah ditempat ibu menanam biji-bijian, lalu direngkuhnya jemari ibu yang sedang menggenggam biji-bijian, kemudian ditebar biji-bijian tersebut ke tanah yang telah digemburkan. Kemudian ibu berbisik kepada bapak,"Aritmu tertinggal pak, itu aku letakkan didepan pintu." Bapak kemudian mengambil aritnya yang tertinggal dan kemudian pamit kepada istrinya untuk pergi ke ladang.

Diladang, bapak bekerja sebagai buruh tani dari sawah PTP milik negara, ia bekerja sebagai buruh tani dari pagi sampai menjelang sore. Sambil bersenda gurau dengan teman-teman sesama buruh tani, bapak memaculi tanah membuat lubang-lubang kecil untuk ditanam bibit padi. Pak Wisnu menegur,"Mas, sudah mempersiapkan biaya kuliah untuk putri panjenengan?" Bapak sambil menanam bibit menjawab,"Sudah mas, sambil nabung sedikit demi sedikit dari upah, walau tak banyak tapi ada.." Pak Wisnu lalu bertanya kembali,"Kuliah dimana mas, putri sampean nanti." Bapak menjawab,"Belum tahu, terserah raminah mau kuliah dimana, saya akan mendukung." Pak Wisnu adalah bapak dari Heru, rekan Wicak, memiliki dua orang putra dan seorang putri yang masih kecil. Untuk menambah masukan biaya rumah tangga, pak Wisnu dibantu oleh Heru tiap akhir pekan, apabila Heru libur sekolah, mesti turut membantu bapaknya diladang.

Rekan bapak diladang, pak Bambang turut nimbrung dalam perbincangan, begitu juga dengan pak Sumilir, pak Shodiq serta pak Tatang. Disela-sela pekerjaan mereka berbincang mengenai sekolah anak mereka. Terbayang dibenak bapak, Raminah yang sedang belajar disekolah serta perilakunya setiap mengerjakan PR dirumah. Sebentar lagi putriku kuliah, semoga tercapai cita-citanya. Sambil memandang langit sebentar, bapak mengusap peluhnya, mudah-mudahan simpanan kami cukup untuk kuliah anak kami, bapak bergumam kepada teman-temannya. Di koperasi memang ada fasilitas simpan-pinjam untuk para buruh tani, bapak berharap untuk dapat terhindar dari meminjam di koperasi, namun koperasi simpan-pinjam ini akan menjadi pilihan terakhir bapak apabila simpanan mereka tak mencukupi untuk biaya kuliah Raminah.

Hari sudah siang, bapak beserta rekan-rekannya mulai menghampiri saung di pematang sawah, satu persatu dari mereka membuka bekal yang dibawa dari rumah masing-masing. Sambil bercanda ria para buruh tani menyantap bekal mereka, namun guratan berfikir tentang masa depan keluarga mereka terlihat jelas dikening mereka. Diantara percakapan, satu sama lain saling celetuk gurau diantara para buruh tani ini. Pak Sumilir memutar radio yang ada disaung, sambil mendengar berita dan diiringi tembang-tembang mereka saling bersenda gurau. Sepintas tak terlihat kesulitan hidup yang mereka hadapi, namun terlihat jelas ditatapan mereka memikirkan nasib keluarga masing-masing. Terdengar berita-berita dari radio nasional, satu sama lain para buruh saling menanggapi berita-berita tersebut dan biasanya diselingi canda mereka menertawakan rekan mereka sendiri. Terlihat pak Bambang sedang termenung memperhatikan ladang, pak Shodiq pun menegur,"Ono opo mas Bambang, dari tadi saya lihat mas termenung." Pak Bambang menyahut,"Ora ono opo-opo pak Shodiq, cuma saya mendengar informasi bahwa lahan sawah PTP ini akan diambil alih swasta asing, aku ini sedang berfikir masa depan gawean kita." Pak Bambang menambahi,"Kemungkinan investor asing ini akan menggunakan mesin sebagai alat produksi dilahan ini, berakibat mengurangi tenaga manusia yang bekerja diladang." Pak Sumilir kemudian nimbrung,"Nggih, aku juga dengar informasi itu, kemungkinan seperti itu, namun lebih jelasnya lagi mesti dicari tahu." Pak Tatang kemudian mencoba menjelaskan,"Ya kalaupun ada mesin, aku rasa tetap dikerjakan oleh manusia, para buruh tani disini tidak akan kehilangan pekerjaan." Pak Bambang kemudian menjawab,"Kalau menggunakan mesin tentunya wilayah kerja yang selama ini dilakukan oleh orang akan dikurangi karena mesin-mesin itu mampu mengerjakan banyak hal sekaligus." Bapak kemudian menengahi,"Sebaiknya hal ini kita bicarakan dengan Kepala PTP, pak Parman, agar segala sesuatunya menjadi jelas bagi kita, keadaannya akan sulit memang apabila PTP diambil alih oleh swasta asing."

Menjelang sore anak-anak sekolah pulang ke rumah masing-masing, banyak diantara mereka yang masih bersenda gurau disekolah, sementara banyak pula yang langsung pulang. Raminah dan komala berjalan beriringan menuju gerbang sekolah, saling bercengkerama berdua menuju ke rumah masing-masing. Tak lama kemudian Mika menghampiri mereka berdua, mengiringi mereka berdua berjalan. Sesekali Komala berceloteh tentang Sanusi, ia bertanya-tanya kepada Mika perihal Sanusi, Mika hanya menjawab sambil tertunduk tersenyum. Setengah perjalanan menuju rumah Komala tak henti-hentinya bertanya kepada Mika, iapun akhirnya menjawab,"Komala, sebentar lagi kita akan lulus sekolah, kemungkinan satu sama lain dari kita akan berpisah, tak adakah keinginan darimu untuk sekedar bertanya kepada Sanusi ia akan melanjutkan kuliah kemana?" Komala menghela nafasnya dalam-dalam, lalu ia tertunduk. Kemudian Raminah akhirnya berkata,"Komala, kita masih remaja tak perlu terlalu pusing memikirkan tingkah laku Sanusi, apabila ada yang ingin disampaikan, sampaikanlah, namun ingat jangan sampai mengganggu konsentrasi sekolahmu." Tak lama kemudian Komala diperjalanan berpisah dengan Mika dan Raminah karena arah rumah mereka memang berbeda. Raminah lalu menegur Mika,"Antarlah Komala sampai ke rumahnya." Mika menjawab,"Lalu kamu bagaimana?" Raminah berkata,"Aku mau mampir ke ladang, aku pulang sama bapak." Mika bergumam,"Baiklah, bila itu maumu." Kemudian Mika mengantar Komala pulang ke rumah diboncengi sepedanya, diperjalanan Komala bertanya kepada Mika,"Kalian sudah berpacaran ya?" Mika menjawab,"Belum, entahlah belum ada kesempatan untuk membicarakan hal itu, aku sayang Raminah, namun aku tak tahu mesti berbuat apa tepatnya, aku takut menyinggung perasaannya." "Maksudmu apa?" cetus Komala. "Raminah sangat fokus dengan sekolahnya, aku takut menjadi penghalang cita-citanya." sebut Mika. "Kamu ternyata tak mengerti perempuan ya, puisimu yang tertempel di mading setiap minggunya kosong, hanya tentang dirimu dan rasamu saja, tak ada tempat bagi orang yang sesungguhnya kamu cintai." ketus Komala. Mika dengan muka merah menahan marah menjawab,"Jangan main-main kamu dengan penafsiranmu tentang puisi-puisiku." Komala menjawab,"Tentunya apabila dipuisimu ada ruang bagi orang yang kamu cintai, tak sulit bagimu untuk mengerti Raminah." "Sadarkah kamu bahwa dengan puisi-puisi itu kamu bukannya membuat telaga bagi hatimu untuk Raminah berlayar, namun justru menjadi tembok pemisah antara kamu dan Raminah." tambah Komala. Mika kalut mendengar ucapan-ucapan Komala, tak disangka-sangka, hal yang selama ini ia perbuat dengan puisinya justru dinilai sebagai jurang pemisah, Mika tak siap dengan penilaian Komala. Telah sampai Mika mengantar Komala dirumahnya, komala menawarkan untuk minum dulu namun Mika menolak, ia tergesa-gesa.

Mika bergegas menuju ke ladang, ia ingin menghampiri Raminah, sepanjang perjalanan yang terngiang-ngiang dibenaknya adalah ucapan Komala. Tak mungkin benar karena apabila benar, maka aku mungkin makhluk paling celaka dimuka bumi ini, gumam Mika dibenaknya. Bercampur keringat, air mata Mika mengucur, lalu ia mencoba untuk menilai dirinya sendiri, ya aku adalah pemahat kata namun yang aku bangun adalah ornamen-ornamen cinta yang kupersembahkan untuk Raminah, sama sekali tak ada dibenakku untuk membangun tembok pemisah antara aku dan Raminah, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sampailah Mika diladang, ia melihat Bapak dengan Raminah sedang berbicara disaung, dihampirinya bapak dan Raminah, kemudian ditegurnya,"Sugeng sonten Pak, maafkan kelancangan saya menghampiri kalian berdua." Bapak menjawab,"Den bagus, mari-mari ono opo tah?" "Saya minta ijin berteman dengan putri bapak, apabila bapak berkenan." Jawab Mika dengan gemetar sambil menggenggam jemarinya sendiri. Bapak tersenyum lalu melirik Raminah yang menatap Mika tanpa berkedip. Lalu Raminah berucap kepada Bapaknya,"Maafkan minah pak'e." Bapak tersenyum melihat tingkah laku Mika dan Raminah lalu berucap,"Monggo den bagus, mari duduk sama saya disini, temani kami bersenda gurau." Tak terbayang betapa bahagianya Mika saat itu, ia tersenyum ke Raminah. Raminah tak percaya hari ini terjadi pada dirinya, lalu Raminah bertanya kepada Mika,"Komala sudah diantar?" Lalu Mika menjawab,"Sudah, aku antar dia sampai dirumah." Mika mengelap peluhnya yang mengucur deras, dibukanya seragam sekolah yang menyingkap T-shirt putihnya. Kemudian Raminah menuangkan teh, diberikannya kepada Mika. Bertiga mereka bercakap-cakap sambil menyeruput teh, diselingi canda diantara mereka. Kemudian Bapak bertanya-tanya kepada Mika tentang kegiatan bandnya, Mika menjawab dengan penuh antusias, tak disangkanya Bapak akan menanyakan tentang bandnya. Raminah sesekali meledek Mika mengenai kelakuannya disekolah, Mika tertawa senang dengan ledekan Raminah tersebut, dan menjelaskan perilakunya tersebut disekolah. Hari ini Mika bahagia bisa bersenda gurau dengan Raminah, tak pernah ia melihat Raminah bercanda karena yang ia tahu Raminah selalu serius disekolah dengan buku-buku pelajarannya. Hari telah senja mereka bertiga berjalan pulang ke rumah, diperjalanan Mika tersenyum-senyum sendiri dan mengingat-ingat percakapan mereka tadi. Mereka berpisah diperjalanan menuju rumah masing-masing dan Mika menuju rumahnya dengan sukacita meski sedikit tentang ucapan Komala masih mengganggunya namun tak dihiraukannya lagi. Besok adalah hari yang baru dalam lembaran hidupnya, tak sabar Mika menunggu hari esok datang dan dapat melihat paras wajah Raminah lagi.

Komentar

Postingan Populer