Anita Ingin Berteduh


Kasih, musim penghujan kembali berlabuh, setelah begitu panjang pengembaraannya mengelilingi benua, mencurahkan rahmat Sang Pencipta untuk kita manusia. Senja ini memahat namamu di aksara kata agar engkau tahu bahwa aku mendambakanmu di antara buliran rintik hujan yang menerba dedaunan dan bunga yang bermekaran di taman sari kehidupan negeri kita. Kelak akan mengenang hujan ini sebagai anugerah yang begitu indah sejak kemarau panjang yang menggelayuti negeri. Tak ingin deraian bulir hujan ini hilang tanpa makna, sebab engkaulah yang kunantikan di tiap kesendirianku. Menyesapi kopi hangat yang mendamaikan jiwaku, ingin sekali rasanya untuk menyatakan langsung kepadamu. Meskipun Sang Pencipta yang menentukan sebuah perjumpaan, ingin kupastikan sesuatu, bahwa kerinduanku ini tak hampa. Kerinduan ini harus berisi sebuah harapan, harus berisi sebuah keinginan dan menasbihkan namamu di langit kelabu.

Buliran rintik hujan ini datang menghampiri untuk kebahagiaan bersama, agar teduh terasa hati ini. Sejuknya senja membuat kita bersiteguh untuk setia kepada negeri dan insan sesama yang juga memperjuangkannya. Bergemuruh rasanya dada ini ketika menuliskannya, gelora asmara ini hendak berteduh dipelukanmu hingga akhir waktu. Kisah ini hendak berakhir ditatapan teduhmu, yang melantunkan senandung asmara, kidung romansa menyeruak ke angkasa dan indahnya para biduan dan biduanita yang mendendangkannya dengan penuh penghayatan. Aroma tanah yang menyeruak ke hidung ini menyegarkan sekali, ingin sekali menyesapinya bersamamu. Untuk sebuah perjumpaan yang begitu berarti, peristiwa pertemuan kecil kita begitu mendalam di hati. Entahlah, apakah karena sebuah rasa yang terbelenggu atau karena sebuah rasa yang terlalu kita rajut, maka setiap perjumpaan menjadi begitu sulit dan rumit. Tetapi kuakui untuk sebuah rasa yang sangat berharga di hati, menggapainya pun memang butuh waktu. Seperti matahari yang terbit, ia melampaui seluruh cakrawala untuk kembali terbenam dan meneduhkan cahayanya di temaramnya rembulan.

Sejuknya tatapanmu yang menyatu dengan tatapanku, lantun tuturmu yang teduh menghadapi lantangnya ucap membuatku luruh dan oleh itu semua kita menjadi seluruh utuh. Perjumpaan itu membuat hatiku mendayu dan bertalu menasbihkan namamu ke langit. Aku bagai sebongkah batu yang ditetesi rinai air hujan, berhikmat di bentuk olehmu dan mencoba untuk sekali lagi meluruhkan diri ini ke sebuah sujud di mata air kehidupan. Sebuah labirin kisah asmara yang semestinya berlabuh dipelukmu menjadi luruh menjelma ketiadaan yang mengabadi bersama deru sejuknya langit senja. Semoga masih ada waktu untuk kita berjumpa kembali, semoga masih ada senja bagi kita berdua dan semoga kita dianugerahi sebuah kenyataan hidup bahwa bersatu dalam mahligai kasih yang selamanya. Merenda kisah ini tentunya sedikit menyakitkan, menjahit sebuah luka di hati untuk sebuah keinginan dan harapan bahwa akan datang masa – masa bahagia yang menyenangkan memang butuh waktu. Bersyukur mengetahui bahwa untaian aksara ini takkan berakhir sia – sia, bisa menjadi sebuah kenangan yang indah bahwa kita saling mencintai utuh seluruh.

Gemulai rintik penghujan mulai reda, bersyukur akan hadirnya hari ini, dimana aku bisa membuka hati dan kembali mencintai dan engkaulah yang menjadi penyebabnya. Kemudian hadir rasa takut akan kehilanganmu menghampiri dan aku berserah atas takdir yang mendatangiku, agar kelak rasa ini tak menjadi hal yang kusesali, maka kutorehkan di hati ini doa untukmu. Aku membutuhkan kasih sayangmu, aku membutuhkan tutur sejuk dari celotehanmu dan aku membutuhkan tatapan teduhmu serta aku akan menemukannya dengan pura – pura sakit, terus datang ke rumah sakitmu untuk berobat heheheheh (loh koq jadi becanda :D). Senja ini kuisi dengan menulis tentangmu, senja ini kubiarkan segala tentang dirimu mengalir sedemikian rupa dalam untaian kata yang maknanya dapat dirasakan hati yang terketuk. Ya, dalam keadaan kebasahan karena hujan di senja ini, aku mengetuk pintu hatimu dan kubiarkan air mataku yang berlalu bersamaan dengan deraian hujan mengering bersamaan dengan teduh dan sejuknya hatimu.

Aku teringat dengan tabir yang kubentuk di pusara hatiku agar tak ada yang bisa masuk dan menyentuhnya, semuanya telah luruh meruntuh dihadapanmu. Semua yang kulihat sekarang mencitrakan betapa anggun dirimu dan terlukis indah di dalam benak ini sampai memejamkan matapun tergambar dirimu. Monggo, tempa diriku agar terbentuk seperti yang engkau mau, meskipun tak ditemukan yang engkau mau, saat itu dirimu akan menyadari bahwa aku dan kamu telah menjelma menjadi kita. Menanti rasa kasih dan sayangmu begitu indah serta akan selalu tertulis mempesona, akan selamanya terlukis elok di langit senja. Harapanku adalah mendampingimu hingga akhir waktu, apabila itupun tak dapat terwujud biarkan doa ini selalu menasbihkan namamu. Menemanimu di beranda kehidupan yang riuh dengan tawa dan canda adalah keinginanku, menyeka air matamu dan memelukmu hingga malam – malam panjang kita berakhir. Ya, aku sedang berjuang, memperjuangkan dirimu agar menjadi milikku, selamanya. Sambil mendengar lantunan Josh Groban berjudul Remember When It Rain, liriknya terdengar lirih menghantarku pada tepian aksara remember when it rain, i felt the ground and look up high and call your name, remember when it rain, in the water i remain, running down. Cheers 😉

Lagu berjudul Remember When it Rained karya Josh Groban dapat di simak di link berikut :
 

Komentar

Postingan Populer